Selasa, 16 Februari 2010

Memberi Untuk Mendapatkan Hati

Suatu ketika Nabi Saw., mendapat rezeki berupa uang sebanyak 90 dirham. Jumlah yang cukup besar saat itu. Tak lama berselang, beliau menggelar tikar dan uang itu pun dibagi-bagikan kepada para fakir miskin hingga uangnya benar-benar habis.
Lalu ada yang datang menyusul dengan maksud serupa. Karena uangnya sudah habis, maka Nabi Saw., berkata kepada orang itu:
“Sayang sekali aku sudah tidak punya apa-apa lagi. Akan tetapi belilah segala sesuatu dengan berhutang, dan hutang itu atas namaku. Insya Allah, bila saatnya Allah memberi rizki, pasti akan kubayar.”
Dermawan merupakan salah satu sifat Nabi Saw. Karena sifat dermawan inilah beliau dicintai banyak orang. Jika punya uang atau makanan, pasti akan diberikannya kepada orang yang lebih membutuhkannya. Ketika beliau hendak makan, lalu ada orang datang meminta makanan, maka tanpa ragu beliau berikan makanannya itu, sementara beliau sendiri berpuasa hingga mendapat makanan lagi.
Saat sedang membagikan harta ghanimah (rampasan perang) hasil perang Hunain, Nabi Saw., didatangi Abu Supyan bin Harb, ia berkata, “Ya Rasulullah, Anda kini menjadi orang Quraisy yang paling banyak hartanya.”
Nabi Saw., menanggapinya dengan tersenyum.
Kata Abu Supyan lagi, “Berikanlah pada saya perak itu, ya Rasulullah!”
Nabi Saw., kemudian berpaling kepada Bilal, “Wahai Bilal! Siapkan untuk Abu Supyan 40 kilogram perak dan 100 ekor unta!”
“Lalu untuk anak saya, Yazid.” Kata Abu Supyan meminta lagi.
“Timbangkan 40 kilogram dan siapkan 100 ekor unta untuk Yazid bin Abu Supyan!” kata Nabi Saw.
“Bagaimana dengan anak saya, Muawiyah.” Abu supyan terus meminta.
Nabi Saw., tidak menolak, dan beliau menyuruh Bilal untuk menyiapkan barang yang serupa diberikan kepada Abu Supyan dan Yazid.
Setelah dirinya dan kedua anaknya kebagian harta ghanimah, Abu Supyan berkata:
“Demi ayah-ibuku, Anda benar-benar sangat dermawan, ya Rasulullah. Saya perangi Anda selama 20 tahun dan ternyata Anda seorang musuh yang bijaksana. Lalu saya berdamai, dan saya dapati Anda sebagai manusia yang paling mulia.”
Mengapa Nabi Saw., begitu dermawan? Jawabannya karena kedermawanan merupakan sifat yang disukai Allah SWT. Dalam syariat Islam, orang yang berinfak akan memperoleh keberuntungan dunia dan akhirat, dan dijamin tidak akan jatuh miskin, malah rezekinya akan bertambah dan usahanya akan terus berkembang. Dalam surah al-Baqarah ayat 261, Allah SWT., berfirman:
“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada setiap bulir (tumbuh) seratus. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki…”
Nabi Saw., bersabda:
“Siapa yang mempunyai kelebihan harta, hendaknya ia memberikan kelebihan hartanya kepada orang yang tidak memilikinya. Siapa yang mempunyai bekal, hendaknya ia memberikan bekal itu kepada orang yang tidak mempunyainya.”
Dari segi pergaulan sosial, kedermawanan bisa menghangatkan dan mengeratkan suatu hubungan. Kedermawan adalah resep ampuh dalam menarik orang menjadi sahabat. Biasanya, orang dermawan mudah dikenal, didekati dan disukai semua orang, dan tentunya pula ia akan dihormati. Sebaliknya orang yang pelit (bakhil), biasanya cenderung dijauhi dan tidak disukai. Ia akan terus dijelek-jelekan dan tidak akan dihormati.
Harta mempunyai daya pikat yang luar biasa. Harta bisa membolak-balik hati manusia. Seorang lelaki kaya raya akan dengan mudah menaklukan hati banyak wanita cantik, meski ia tidak tampan. Harta pun bisa merubah keyakinan seseorang. Orang yang kelaparan bisa berpindah agama hanya karena sekerat roti yang diterimanya setiap hari.
Nabi Saw., sering menggunakan harta untuk menguatkan keimanan orang-orang musyrik yang baru masuk Islam. Pada saat Fath Makkah, Shafwan bin Umayyah melarikan diri ke Jeddah untuk kemudian berlayar ke Yaman. Lalu Umair bin Wahab menemui Nabi Saw., dan berkata:
“Ya Rasulullah, Shafwan bin Umayyah adalah pemuka kaumnya, dia melarikan diri dari Anda karena ketakutan, dan bermaksud membuang diri di samudera luas. Ampunilah dia ya Rasulullah!”
Nabi Saw., yang pemurah itu berkata, “Baiklah, dia aman.”
“Berikanlah tanda bukti atas hal itu, ya Rasulullah!”
Nabi Saw., lalu memberikan kepada Umair bin Wahab imamah yang beliau pakai saat memasuki Makkah.
Bergegaslah Umair mengejar Shafwan. Dilihatnyalah sahabatnya itu hendak naik kapal, sehingga berteriaklah ia:
“Ya Shafwan! Demi ayah-ibuku, sayangilah dirimu. Janganlah mencelakakan dirimu. Lihatlah! Kubawakan untukmu bukti jaminan keamanan dari Rasulullah.”
“Celakalah engkau! Tinggalkan aku,” ucap Shafwan, tetap mau pergi.
“Sadarlah wahai Shafwan, sebaik-baik, semulia-mulia, dan paling bijaksananya orang adalah putera pamanmu itu. Kehormatannya adalah kehormatanmu juga, dan kekuasaannya adalah kekuasaanmu juga,” bujuk Umair.
“Tidak, aku takut menemuinya.”
“Beliau sungguh baik dari dugaanmu, begitu pemaaf dan pemurah.”
Akhirnya setelah terus dibujuk, Shafwan pun ikut kembali bersama Umair bin Wahhab mendatangi Nabi Saw. Di hadapan beliau, Shafwan berkata:
“Orang ini mengatakan bahwa Anda mengampuni dan menjamin keamanan saya?”
“Benar,” jawab Nabi Saw.
“Berilah saya tenggat waktu dua bulan,” kata Shafwan, masih belum yakin.
“Sampai empat bulan pun boleh,“ kata Nabi Saw., memberi keleluasaan waktu kepada Shafwan untuk berpikir menimbang-nimbang keyakinan mana yang benar.
Jauh dalam lubuk hatinya, Shafwan tahu bahwa Muhammad Saw., adalah orang yang amat jelas kebenaran kata-katanya, sangat besar kebaikannya, dan pantang melanggar janji. Seiring dengan berjalannya waktu, hati Shafwan sedikit demi sedikit mulai luluh. Beberapa bulan ia tinggal di lingkungan masyarakat muslim dimana Nabi Saw., tinggal.
Suatu hari Shafwan menemani Nabi Saw., berkeliling memeriksa hasil-hasil yang didapat dari perang Hunain. Saat mereka tiba di suatu tempat yang dipenuhi puluhan ekor unta dan domba, sampai suaranya riuh gemuruh. Pemandangan ini amat menyenangkan hati Shafwan.
Nabi Saw., bertanya, “Apakah engkau senang berada di lembah ini?”
“Benar,” jawab Shafwan.
Lalu kata Nabi Saw., “Semua itu untukmu.”
Benteng-benteng keyakinan lama Shafwan hancur luluh seketika saat itu juga. Menerima hadiah yang begitu banyaknya membuat Shafwan langsung bersaksi.
“Saya bersaksi bahwa tidak ada orang yang tidak senang melihat semua itu kecuali seorang nabi, dan sekarang saya bersyahadat bahwa Anda adalah Rasulullah.”
Beberapa bulan kemudian, Shafwan berkata, “Tidak ada orang yang kubenci seperti halnya Muhammad, lalu dia beri aku hasil perang Hunain sehingga akhirnya ia menjadi orang yang paling kucintai.”
Harta pemberian Nabi Saw., telah menguatkan keyakinan Shafwan bahwa Islam adalah keyakinannya yang paling benar. Ia pun tak ragu mengucap syahadat.
Itulah harta, kekuatannya mampu mengubah hati yang keras jadi lunak. Jika Anda hendak menjalin hubungan persahabatan dengan seseorang rajinlah memberinya sesuatu meski itu hanya makanan kecil. Secangkir kopi yang Anda suguhkan kepada seseorang yang baru Anda kenal, akan menjali tali yang mengeratkan persahabatan. Hubungan akan terasa hangat jika dihiasi dengan saling memberi.
Saat melakukan menyerbuan ke benteng Tsaqif, pasukan muslimin menawan sekitar 6.000 orang dari kabilah Hawazin, menyita harta benda yang tak terhingga, dan binatang ternak yang tak terhitung jumlahnya. Tawanan dan harta ghanimah ini sedianya akan dibagikan kepada kaum muslimin.
Orang-orang Hawazin cepat-cepat mengutus Zuhair bin Shard untuk mewakili mereka menemui Nabi Saw. Zuhair menemui Nabi SAW., dan ia berkata:
“Ya Rasulullah, di tengah-tengah kami ada bibi-bibi Tuan dari pihak ayah dan ibu Tuan, dan juga ibu-susuan Tuan…. Saya lihat Tuan adalah sebaik-baik orang yang memberi jaminan.”
Nabi Saw., mejawab:
“Apa yang menjadi hakku dan hak keluarga Abdul Nuthalib, kembali menjadi hak kalian. Kalau nanti aku shalat Dhuhur bersama orang banyak, maka ajukanlah permohonan (di muka umum), ‘kami memohon kepada kaum muslimin melalui syafaat Rasulullah, dan kepada Rasulullah melalui syafaat kaum muslimin, tentang anak-anak dan kaum wanita kami’.”
Setelah usai shalat Dhuhur, kaum Hawazin melakukan apa yang diperintahkan Nabi Saw. Lalu Nabi Saw., berkata, “Apa yang menjadi hakku dan hak keluarga Abdul Muthalib, menjadi hak kalian.”
Dengan demikian, maka Nabi Saw., dan seluruh keturunan Abdul Muthalib tidak akan mengambil hak mereka dari harta ghanimah itu. Hal ini diikuti pula oleh golongan Muhajirin dan Anshar. Mereka mengatakan, “Apa yang menjadi hak kami, kami serahkan kepada Rasulullah. Hanya beberapa orang saja yang tetap ingin mengambil haknya dari ghanimah itu.
Dengan demikian, ribuan tawanan, harta ghanimah dan hewan-hewan ternak dikembalikan lagi kepada kabilah Hawazin. Kabilah Hawazin dibebaskan tanpa tebusan apa pun. Kebijaksanaan Nabi SAW., untuk mengembalikan harta kekayaan ini, sungguh memikat hati kabilah Hawazin. Dengan cara ini, kabilah paling besar dan penting di jazirah Arab ini semakin dekat dengan Islam.
Di tengah semuanya itu, Nabi kemudian mengirimkan pesan kepada Malik bin Auf (tokoh Tsaqif yang masih bertahan di bentengnya) bahwa jika Malik mau masuk Islam, Nabi akan menyerahkan seluruh harta dan keluarganya yang ditawan, dan akan memberinya 100 ekor unta.
Tawaran Nabi itu adalah tawaran yang sangat menggiurkan. Hanya orang bodoh saja yang akan menolak tawaran itu. Harta dan keluarga adalah kelemahan seseorang, ia akan melakukan apa saja demi keluarga dan harta. Oleh karena itu, Tanpa ragu-ragu, Malik bin Auf keluar dari bentengnya. Ia mewakili kaum Tsaqif menyatakan keislamannya. Nabi SAW., pun menepati janjinya, beliau memberikan kembali seluruh harta kekayaan Malik bin Auf dan keluarganya plus 100 ekor unta.
Nabi SAW., adalah seorang yang amat dermawan hingga akhir hayatnya. Ketika beliau menyadari bahwa jari-jari kematian mulai menyentuh dirinya, tiba-tiba ada sesuatu yang terpikirkan olehnya: apa saja yang kumiliki? Segera dipanggilnya Aisyah untuk membawa semua harta yang dimilikinya. Aisyah pun segera mengeluarkan seluruh barang yang menjadi miliki Nabi saat itu juga.
Kekayaan yang dimiliki Nabi Saw., menjelang wafatnya adalah tujuh dinar uang yang segera semuanya dibagi-bagikan kepada yang membutuhkannya. Sesudah itu, semua sahabat melihat bahwa Nabi Saw., merasa begitu lega, seakan-akan beban berat yang selama ini menindihnya telah disingkirkan.
Tak ada seorang pun yang menyamai kedermawanan Nabi SAW. Namun, beliau telah menanamkan pelajaran mulia kepada umatnya agar memiliki sifat dermawan. Orang dermawan akan disukai Allah dan akan disukai manusia. Orang dermawan akan memiliki banyak sahabat. Sudah selayaknya, kiata sebagai umat Nabi Saw., mempunyai sifat dermawan.
Itulah pelajaran penting yang bisa dipetik oleh kita semua.
Kisah-kisah kedermawanan Nabi Saw., di atas kiranya cukup untuk dijadikan sebagai teladan bagi kita untuk lebih dermawan. Dalam hidup bermasyarakat, manusia saling membutuhkan, maka yang mampu harus menolong yang tidak mampu.
Kita tutup saja bab ini dengan sabda Nabi Saw:
“Hendaklah kalian saling memberi. Karena sesungguhnya saling memberi itu dapat membuahkan rasa saling mencintai dan melenyapkan kedengkian.”